Kekerasan Terhadap Murid Merupakan Pelanggaran HAM
Padang ( Berita ) : Tindak kekerasan secara fisik yang terjadi di sekolah dilakukan sejumlah oknum tenagapengajar di Indonesia terhadap siswanya harus dihentikan, karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia(HAM).“Tidak jamannya lagi, seorang guru memberikan sanksi kepada siswa dengan penganiyaan atau melakukankekerasan secara fisik. Tindak kekerasan harus dihapus pada dunia pendidikan karena bertentangan denganHAM,” kata Kepala Devisi Sipil dan Politik Komnas HAM Sumatera Barat, Sudarto, menanggapi tindak kekerasan oleh oknum guru terhadap siswanya pada beberapa sekolah di negeri ini.Ia menilai, tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah oknum guru terhadap siswanya setidaknya ada tiga faktor pemicu, pertama, berkakaitan dengan rendahnya gaji guru di Indonesia, sehingga keterbatasan financial tenagapengajar menimbulkan tekanan ekonomi.Karena tekanan ekonomi itu, katanya, sehingga konsentrasi dan stabilitas emosional guru sulit terkendali,akibatnya kemarahan bisa selalu terjadi terhadap siswa yang melanggar ketentuan sekolah.Kedua, karena sistem pendidikan negeri ini yang mengekang para tenaga pengajar dengan kesadaran naif,hanya berpatok kepada ketentuan yang telah ada.“Kita tahu bahwa dalam jumlah besar tenaga pengajar tamatan diploma III dan sarjana strata satu (S-1). Banyak tenaga guru yang kaku dalam pola penganjarannya,” katanya.Dampaknya, ketika ditemukan siswa yang kritis dan mau berdebat, tenaga pengajar bisa saja menilai muridnyabandel atau selalu membantah, sehingga tindakan guru mengambil tidankan kekerasan. Selanjutnya, faktor terakhir pemicu kekerasan terjadi oleh tenaga pengajar terdapat murid, juga tak terlepas dengan perkembanganteknologi.Para siswa sudah banyak yang bisa melek internet, sehingga dapat membaca perkembangan secara global.Sedangkan sebagian besar tenaga pengajar di negeri ini, mungkin belum tahun mengoperasikan internet.Hal itu, jelas ada pengaruhnya terhadap tenaga pengajar yang belum mampu atau ketinggalan secara teknologidengan siswanya. Ia mengatakan, Komnas HAM Wilayah Sumbar, juga pernah menangani kasus kekerasanfisik oleh guru kepada siswanya dan secara hukum tetap ditegakan, sehingga ditahan aparat kepolisian.“Kita imbau agar dihentikan tindak kekerasan dalam bentuk apapun di segala tingkat dunia pendidikan,” kataalumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang itu.(beritasore)
Baca BBM, Ditampar Sandal Kulit dan Diusir dari Rumdis
Istri Wakil Walikota Magelang, Rubaidah, akhirnya melaporkan suaminya, Joko Prasetyo ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jumat (25/1)
Joko Prasetyo diduga memukul Rubaidah dengan sandal kulit di depan kedua anaknya pada 9 November 2012.
Magelang (Surabaya Pagi)
Alasannya pemukulan itu sendiri sangat sepele. Saat itu Rubaidah ingin membaca pesan Blackberry Messenger (BBM) suaminya yang diduga dari wanita idaman lain. Saat itu juga Rubaidah diusir dari rumah dinas dan rumah pribadi mereka.
"Selama satu tahun ini ada beberapa perubahan perilaku dari suami saya yang mulai main tangan dan kasar. Padahal sampai sekarang saya masih sah sebagai istri beliau," kata Rubaidah di Wahid Institute, Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, pada 13 November 2012, suaminya mengambil paksa kedua anaknya ketika mereka sedang tertidur pulas sekitar pukul 22.00. "Bella (12) dan Aulia (6) diambil paksa. Tiba-tiba suami saya datang marah-marah dan berteriak sampai semua tetangga menyaksikan kejadian itu," katanya.
Sampai saat ini, Rubaidah mengaku belum bertemu sama sekali denggan Bella dan Aulia. Bahkan pihak sekolah melarang Rubaidah menemui mereka. "Kepala sekolah juga melarang saya menemui mereka di sekolah. Saya sudah putus asa," ujar Rubaidah.
Akhir tahun lalu, Joko Prasetyo, memenuhi panggilan Kepolisian Resor (Polres) Magelang Kota, Jawa Tengah, guna menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Enam orang saksi yang diperiksa adalah mereka yang mengetahui adanya KDRT yang diduga dilakukan di dua tempat, yaitu Jalan Ketepeng Nomor 3 Trunan, dan rumah dinas wakil wali kota.
Joko diancam hukuman Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT Pasal 44 ayat 1 dan atau 4 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.bs
Joko Prasetyo diduga memukul Rubaidah dengan sandal kulit di depan kedua anaknya pada 9 November 2012.
Magelang (Surabaya Pagi)
Alasannya pemukulan itu sendiri sangat sepele. Saat itu Rubaidah ingin membaca pesan Blackberry Messenger (BBM) suaminya yang diduga dari wanita idaman lain. Saat itu juga Rubaidah diusir dari rumah dinas dan rumah pribadi mereka.
"Selama satu tahun ini ada beberapa perubahan perilaku dari suami saya yang mulai main tangan dan kasar. Padahal sampai sekarang saya masih sah sebagai istri beliau," kata Rubaidah di Wahid Institute, Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, pada 13 November 2012, suaminya mengambil paksa kedua anaknya ketika mereka sedang tertidur pulas sekitar pukul 22.00. "Bella (12) dan Aulia (6) diambil paksa. Tiba-tiba suami saya datang marah-marah dan berteriak sampai semua tetangga menyaksikan kejadian itu," katanya.
Sampai saat ini, Rubaidah mengaku belum bertemu sama sekali denggan Bella dan Aulia. Bahkan pihak sekolah melarang Rubaidah menemui mereka. "Kepala sekolah juga melarang saya menemui mereka di sekolah. Saya sudah putus asa," ujar Rubaidah.
Akhir tahun lalu, Joko Prasetyo, memenuhi panggilan Kepolisian Resor (Polres) Magelang Kota, Jawa Tengah, guna menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Enam orang saksi yang diperiksa adalah mereka yang mengetahui adanya KDRT yang diduga dilakukan di dua tempat, yaitu Jalan Ketepeng Nomor 3 Trunan, dan rumah dinas wakil wali kota.
Joko diancam hukuman Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT Pasal 44 ayat 1 dan atau 4 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.bs
Tragedi Semanggi
Awal
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Deskripsi
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala[3][4].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar